Foto:MI/Angga Yuniar
Jakarta: DI balik pesona eksotika yang luar biasa, Kota Tua menyimpan persoalan bak benang kusut yang harus diurai banyak pihak dengan penuh kesabaran.
Mulai dari banyaknya bangunan berarsitektur kolonial yang tidak terawat, merebaknya penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) di beberapa sudut kawasan tersebut, hingga penataan pedagang kaki lima (PKL) yang tidak kunjung usai.
Untuk menyelesaikan persoalan-persoalan itu, mantan Gubernur DKI Jakarta yang kini menjadi Presiden RI, Joko Widodo, membentuk badan hukum konsorsium bernama Jakarta Old Town Revitalization Corporation (JOTRC).
Pembentukan JOTRC yang terdiri dari BUMN, swasta, pemerhati budaya hingga sejumlah ahli di bidang terkait merupakan kesadaran Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bahwa penataan kawasan bersejarah Kota Tua tidak bisa dilakukan oleh pemerintah sendiri.
Pasalnya, hampir sebagian besar bangunan bersejarah dimiliki oleh BUMN, sisanya milik swasta dan pribadi. Sementara itu, pemerintah hanya memiliki segelintir bangunan di kawasan tersebut.
Akibat satus kepemilikan bangunan gedung yang berbeda, sebagian dibiarkan telantar. Berdasarkan pantauan Media Indonesia, hanya gedung-gedung yang hingga kini masih dimanfaatkan untuk perkantoran atau tempat usaha yang kondisinya bisa dipertahankan meski mendapat sentuhan aksen modern di sana sini. Selebihnya, kondisi bangunan memprihatinkan.Di antaranya atap yang lapuk, dinding berlumut dan penuh coretan, bahkan hancur hing ga tinggal kerangka.
Kepala Dinas Pariwisata DKI Jakarta Arie Budiman mengklaim sudah ada 34 pemilik bangunan yang mengonfirmasi dan menyetujui merehabilitasi bangunan masing-masing. Oleh karena itu, berapa bangunan ditutup lantaran sedang direnovasi. Ia yakin revitalisasi gedung-gedung di Kota Tua selesai pada 2016.
Persoalan lain yang mengancam eksistensi Kota Tua sebagai tujuan wisata ialah keberadaan PMKS yang menyebar ke berbagai penjuru.Kehadiran mereka, seperti pengemis, anak jalanan hingga pengamen, acap mengganggu ketenteraman pengunjung.Apabila tidak diberi uang, mereka tidak segan menghardik bahkan mengeluarkan katakata kotor.
“Kami sebagai pemilik gedung jelas mau mendukung rencana pemerintah untuk merevitalisasi Kota Tua. Tapi pemerintah harus tegas menertibkan PMKS, karena mereka suka mengganggu. Kalau dibiarkan, mana mau pengusaha besar berinvestasi de ngan kondisi Kota Tua yang masih kumuh?“ ujar Ella Ubaidi, salah seorang pemilik bangunan tua yang diberi nama Rumah Akar di Jalan Kalibesar Timur 19, beberapa waktu lalu.
Persoalan lain yang menghantui Kota Tua ialah PKL yang kerap melanggar aturan, antara lain menggelar dagangan di luar tempat dan waktu yang telah ditetapkan. Terutama, ketika pengawasan oleh petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Jakarta Barat mengendur.
Padahal, Pemkot Jakarta Barat telah menata dengan menggabungkan mereka dalam Koperasi Pedagang Taman Fatahillah (Kopetaf). Sedikitnya terdapat 415 pedagang binaan yang memiliki beragam jenis barang dagangan ditempatkan di sejumlah cluster.
Selain itu, jam operasional ditetapkan setelah pukul 17.00 WIB. Namun, banyak pedagang yang sembunyisembunyi berjualan sebelum waktunya. Bahkan, ada pula yang nekat menggelar lapak di tengah Taman Fatahillah, kendati berulang kali ditertibkan petugas.
Dampaknya, sampah berserakan di berbagai sudut Kota Tua. Kondisi itu ditambah minimnya kesadaran pengunjung untuk membuang sampah pada tempatnya. Padahal, tempat sampah dengan jumlah memadai sudah disiapkan.
Kepala Satpol PP Jakarta Barat Kadiman Sitinjak mengaku kewalahan menghadapi ulah pedagang maupun pengunjung yang mebuang sampah sembarangan. Padahal, pemerintah setempat juga memberlakukan sanksi penahanan KTP kepada siapa pun yang membuang sampah tidak pada tempatnya. (Tes/J-3)FIT
No comments:
Post a Comment