Uniknya Kampung Tradisional Takpala Alor
TEMPO.CO, Kupang--Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur (NTT) terkenal dengan panorama wisata lautnya yang nan indah yang sering dijadikan lokasi diving bagi wisatawan manca negara. Terlepas dari itu, daerah itu juga masih memiliki kampung tradisional yang berada di bagian selatan Pulau Alor.
Kampung Takpala, itulah kampung yang masih tradisional. Hanya membutuhkan waktu sekitar setengah jam dari Kalabahi, Ibu Kota Kabupaten Alor atau sekitar 30 kilometer (km) untuk mencapai perkampung yang terletak diatas pegunungan itu juga mneyuguhkan pemandangan yang elok, karena lokasinya yang berhadapan langsung dengan keindahan Teluk Takpala.
Di kampung yang berada di Desa Lembur Barat, Kecamatan Alor Barat Laut ini tinggal suku Abui yang mata pencahariannya berasal dari hasil hutan yang berada di belakang perkampungan itu.
Perkampungan Takpala memiliki 15 rumah adat tradisional suku Abui atau yang biasa disebut dengan rumah lopo. Hanya tersisa 13 kepala keluarga (kk) atau sekitar 40 jiwa yang bermukim di kampung Takpala itu. 13 rumah adat tak berdinding dan sepasang rumah adat yang disebut Kolwat dan kanuarwat. Dua rumah adat ini tidak semua orang bisa memasukinya, karena hanya orang-orang tertentu saja.
Suku Abui yang masih memegang teguh pada adat istiadat memasak juga masih secara tradisional dengan menggunakan tungku yang terbuat batu. Ketika didatangi Tempo, bersama romongan Kementrian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), Jumat, 23 Agustus 2013 lalu, warga suku Abui yang terkenal dengan keramahannya langsung menyambut dengan tarian lego-lego yang disajikan warga Takpal yang didominasi ibu-ibu dengan pakaian tradisional setempat.
Lego-lego tarian khas Takpala yang ditarikan dengan cara setengah lingkaran dan memutar di tumpukan batu yang biasa digunakan suku Abui untuk melakukan ritual adat. Kampung Takpala ini merupakan salah objek wisata Kabupaten Alor yang sering dikunjungi wisatawan manca negara, ketika berkunjung ke daerah itu.
Martinbus Kafekae, 42 tahun, salah satu kepala suku Takpala mengatakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hati warga suku Abui hanya bergantung pada hasil hutan, berupa biji-bijian yang dikumpulkan warga untuk membuat suvenir dan dijual bagi pengunjung yang datang ke kampung tersebut.
Dari biji-bijian itu, warga membuat kalung, gelang rantai dan lainnya. Kalung dan gelang dari biji-bijian hutan dijual dengan harga berfariasi antara Rp 20-50 ribu per buah. Ada pula yang menenun, dan hasilnya pun di jual dengan harga antara Rp 250-300 ribu per lembar. "Kami hanya bergantung dari hasil hutan," katanya.
Di perkampung itu, katanya, tinggal 13 KK di rumah-rumah tradisional atau 40 jiwa. Semuanya adalah warga suku Abui. Budaya tolong menolong di perkampung itu masih sangat kental. "Satu-satunya kampung tradisional yang masih bertahan di Alor yakni Takpala," katanya.
Hasil kerajinan warga suku Abui di Kampung Takpala diserbu para pengunjung, karena uniknya gelang atau kalung yang dibuat warga dari hasil hutan. Sekitar 40-an wisatawan lokal yang berkunjung hari itu membawa pulang oleh-oleh dari Takpala berupa kalung dan gelang.
Iwan Manasa, salah satu pengunjung meminta pemerintah untuk tetap mempertahankan budaya warga suku Abui di kampung Takpala ini. Dia pun berharap pemerintah daerah perlu mempromosikan kampung ini ke dunia luar, bahwa masih ada suku tradisonal dengan identitas dan jati diri. "Budaya ini harus diperhatikan, ini keunikan yg harus dilestarikanm" katanya.
Pemerintah daerah setempat telah menerbitkan Peraturan daerah (Perda) yang menjadikan kampung Takpala sebagai salah satu destinasi wisata di daerah itu.
YOHANES SEO
No comments:
Post a Comment