Konon, salah satu ciri yang mencolok di wilayah Asia Tenggara, adalah keragaman budayanya.Keragaman budaya ini sebagian berasal dari beberapa ratus suku minoritas pribumi yang menghuni pedalaman dan hutan di kawasan ini. Mereka dikenal dengan pelbagai istilah: seperti orang gunung (highlanders), orang asli (aborigines), orang hutan (forest people), pribumi (natives) (Lim Tech Ghee and Alberto G. Gomes, 1990). Permasalahan pengembangan dan promosi pariwisata, baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah dinilai semakin penting untuk mendukung pembangunan nasional.Demikian juga kekayaan alam dan budaya yang dimiliki Banggai Kepulauan perlu mendapat perlindungan serta membutuhkan upaya pelestarian agar dapat menjadi daya tarik wisata yang dapat menarik jumlah kunjungan wisata baik domestik maupun manca negara. Beberapa budaya asli Bangkep, baik berupa lagu,musik tradisi, kesenian dan kerajinan tangan yang tidak dilestarikan menunjukkan betapa lemahnya pengelolaan dan perlindungan kekayaan wisata oleh Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif di Kabupaten Banggai Kepulauan. Padahal bila kekayaan budaya dikelola dengan baik, sektor pariwisata dapat menjadi sektor ekonomi yang memiliki potensi untuk mendatangkan devisa bagi negara.
Daya tarik lokalitas ini menjadi penting, ditengah kebosanan terhadap budaya massa yang dibawa oleh kapitalisme global. Menurut Anthoy Gidden (2001) globalisasi menjadi alasan bagi kebangkitan kembali identitas budaya lokal di berbagai belahan dunia. Semakin homogen gaya hidup masyarakat akibat globalisasi, semakin kokoh ketergantungan masyarakat kepada nilai-nilai yang lebih dalam seperti agama, seni dan sastra. Demikian juga dari perspektif lokal, ketiga dunia semakin tumbuh homogen maka kita semakin menghargai tradisi yang bersemi dari dalam.Nilai lokal disamping mampu menginspirasi tumbuhnya kearifan lokal (local indigeneus), di satu sisi tumbuh menjadi nilai-nilai kehidupan yang memberi makna pada kehidupan dan interaksi sesama mereka.Nilai strategis budaya lokal telah menginpirasi berbagai daerah untuk mengembangkan potensi lokalitas dalam pengembangan pariwisata. Dengan berbagai pertimbangan tersebut di atas, maka pengembangan pariwisata tidak boleh meminggirkan budaya dan spirit lokal. Oleh karena itu perlu digagas pengembangan pariwisata yang sejalan dengan pengembangan budaya dan semangat manusia beserta cipta, rasa dan karsanya.Gagasan tersebut dikembangkan berdasarkan asumsi bahwa pembangunan daya tarik wisata didasarkan pada pembangunan masyarakat dan budayanya.
Daya tarik unsur-unsur budaya dan kearifan lokal sebagai dasar pengembangan budaya dalam era global ini dapat lebih rinci berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut: (a) Dari perspektif strategi kebudayaan, meningkatnya pengaruh globalisasi telah mereduksi nilai-nilai budaya nasional. Budaya lokal memiliki potensi dan peran sebagai budaya tandingan (counter culture) bagi dominasi budaya global yang dimitoskan sebagai sesuatu tidak bisa dielakkan (Fakih, 2003:5).Kasanah budaya lokal dapat menjadi sumber kearifan lokal, sebagai salah satu sumber sikap kritis terhadap globalisasi. Hal ini terjadi bahwa di dalam masyarakat yang semakin homegen gaya hidup suatu masyarakat akibat globalisasi dan modernitas, semakin kokoh ketergantungan masyarakat terhadap kepada nilai-nilai yang lebih mendalam seperti agama, seni dan sastra. Sementara dunia luar tumbuh semakin sama (homogen) akibat globalisasi, masyarakat semakin menghargai tradisi yang bersemi dari dalam. Munculnya kecenderungan baru gaya hidup yang berakar pada seni tradisi merupakan indikasi posititif bangkitnya nilai-nilai lokal dalam kehidupan masyarakat. Seni tradisi di beberapa wilayah Banggai Kepulauan yang masih bertahan sampai sekarang dan masih dipertahankan oleh masyarakat memiliki nilai filsafat yang tinggi.
Menurut penulis, pembangunan Obyek Daya Tarik Wisata di Banggai Kepulauan mengalami pembiasan makna pariwisata itu sendiri, dimana pariwisata hanya di anggap membangun komponen infrastruktur jalan dan fasilitas bagi pengunjung saja. Padahal setiap destinasi wisata alami sekalipun seringkali tidak dapat mempertahankan “keaslian” tempat tersebut karena mengalami perubahan dan penambahan produk baru sesuai dengan usaha para pengusaha yang melakukan komersialisasi wisata sehingga merusak nilai luhur bahkan keindahan.Oleh karena itu perlu dipikirkan agar perkembangan pariwisata tidak mengubah keaslian obyek wisata dan perilaku manusia di dalamnya.Sejak beberapa tahun belakangan, semakin banyak wilayah di Banggai Kepulauan yang memiliki potensi pariwisata dimana pemerintah berusaha melakukan pencitraan dengan memberi penguatan pada penanda tertentu.Demikian juga simbol atau penanda yang digunakan oleh pemerintah di Bangkep dalam mengembangkan pariwisata.
Penulis memberikan input bagi pemerintah Banggai Kepulauan kedepannya untuk membuat branding “SEA – SEA the Spirit of Banggai Archiepelago” sebagai upaya merevitalisasi di dataran nilai-nilai, filosofi atau pandangan hidup ; sistem kehidupan masyarakat dalam berinteraksi dan menjalani kehidupannya, maupun hasil karya atau produk yang dihasilkan dengan semangat budaya tersebut.
Dalam banyak kesempatan Penulis sering menggambarkan cita-cita membangun Bangkep dengan menyatakan bahwa Bangkep masa depan adalah Bangkep masa lalu. Kekayaan budaya berupa musik tradisi,kesenian, bahasa asli Banggai beserta kehidupan masyarakatnya menjadi daya tarik wisata yang ditawarkan kepada wisatawan domestik dan wisatawan mancanegara. Simbol dan penanda (sign) disadari sangat penting dalam menentukan sebuah tempat sebagai destinasi wisata bukan sekedar membangun komponen pendukung pariwisata tanpa identitas budaya Banggai Kepulauan.Simbol ini terkait dengan citra sebuah tempat di benak para pelancong seperti misalnya slogan-slogan pariwisatathe exotic Bali, the romantic Paris, dan the Virgin Pasific (Pitana dan Gayatri, 2005: 48). Pertanyaannya, apakah dinas Pariwisata Dan Ekonomi Kreatif Kabupaten Banggai Kepulauan telah membuat identas budaya di setiap pengelolaan Obyek Daya Tarik Wisata?
Dalam kurun waktu empat tahun terakhir ini, penulis secara khusus tertarik pada penemuan cara – carabaru untuk membina seni, pembelajaran komunitasdi sekolah – sekolah SMAN/SMK kabupaten Banggai Kepulauan. Pemaparan pertama penulis atas model berbasis seni masyarakat seperti yang dipresentasikan melalui ProgramCeritakan Ceritamu pada tahun 2014. Model ini dikembangkan dan difasilitasi oleh sanggar seni Bonuaku yang di dukung oleh Perkumpulan Penulis Skenario dan Sutradara Indonesia.Keindahan dari program ini adalah bahwa sifat-sifat manusia yang pernah dipaparkan mendorong para peserta untuk menggunakan praktik dan dialog seni untuk secara aktif memadukan kemampuan kreatif individu (berfikir, merasa, melakukan) yang memberi kontribusi bagi semangat positif ‘komunitas’ dan kehidupan manusia.Sebagai implementasi program dipenghujung tahun 2014, penulis bersama seorang rekannya guru bahasa Indonesia di SMAN 1 Bulagi mengikutsertakan salah satu siswa SMAN 1 Bulagi dalam lomba penulisan skenario tingkat nasional tahun ini.
Yang benar-benar penulis hargai dari program ini adalah caranya dalam mendorong untuk mengkaji lebih jauh peran dan arti menyeluruh dari SENI yang telah mempengaruhi kerja penulis dalam mengembangkan dan memfasilitasi pembelajaran berkesinambungan “dalam dan melalui” seni bagi komunitas seni dan komunitas non-seni. Pada tahun 2013 kemarin, saat penulis berkesempatan mendapat beasiswa FILMMAKER ASIA TENGGARA,penulis diperkenalkan kepada istilah dan bidang baru : Identias Budaya lewat film. Praktik terstruktur ini mengingatkan penulis pada beberapa kelebihan terbesar dari Negara Barat: kemampuan menciptakan sebuah “sains” (struktur, sistem, dan bahasa) dari praktik–praktik yang telah ada di area tertentu di dunia, atau praktik-praktik baru. Bidang dan praktik-praktik ini menunjukkan betapa penciptaan seni (praktik budaya/seni) dapat menjadi bagian intrinsik dari kehidupan individu dan masyarakat. Fokusnya tidaklah pada objek budaya atau seni, tetapi bagaimana proses dan tindakan ‘menciptakan’ memberi kontribusi bagi kehidupan manusia. Meskipun ‘praktik terstruktur’ Pengembangan Budaya Masyarakat dapat dianggap sangat “baru” untuk Indonesia khususnya di Banggai Kepulauan, penulis yakin bahwa ada banyak unsur dalam yang telah ada dalam praktik masyarakat tradisional masyarakat Banggai Kepulauan.
Tulisan ini merupakan serangkaian medium yang dikembangkan dari praktik-praktik Pengembangan Budaya Masyarakat di Barat untuk seniman di Indonesia untuk menyerap dan mengadaptasi ide-ide yang relevan yang sesuai dengan tatanan dan konteks budaya Indonesia, sebagaimana ditekankan oleh penulis. Penulis yakin carayang bagus untuk mulai ‘menyerap’ informasi dan kiat-kiat yang dikemukakan dalam tulisannya ini menjadikan pembaca mengkaji dan mengolah istilah-istilah secara seksama, secara pribadi, dan dari aspek manusia (baik dalam arti individu maupun masyarakat) – tidak hanya berfokus pada seni, isu-isu atau objek-objek yang dijelaskan. Meski istilah-istilah ini mungkin dikenal (misalnya: masyarakat – budaya – pengembangan), selalu mencerahkan kiranya untuk mempertimbangkan arti baru apa yang dapat ditarik yang dapat memberi kontribusi bagi aspek positif kehidupan manusia. Dimana warisan budaya Banggai Kepulauan yang kaya tidaklah ternilai, bukan karena apa yang diwakilinya, tetapi karena pikiran-pikiran kreatif berharga manusia yang menciptakannya. Penulis ingin menekankan lebih lanjut kata “menciptakan” yang artinya membuat atau melakukan sesuatu yang “baru” tidak berarti bahwa kita mengesampingkan semua yang telah (atau belum) dicapai. Penulis yakin bahwa dengan mengidentifikasi potensi positif dari apapun yang kita lakukan, kita dapat membayangkan masa depan, membongkar masa lalu, dan menghadapi masa kini – untuk ‘memberi nilai tambah’ lebih jauh, bukannya menghilangkan nilai budaya.
No comments:
Post a Comment