Wednesday, September 3, 2014
Terbuai Alunan Angklung dari Desa Cigugur
KOMPAS.com/SRI NOVIYANTIPendi sedang memainkan angklung di Sanggar Angklung miliknya
KUNINGAN, KOMPAS.com – Blok Lumbu di Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, siang itu terlihat lengang. Sesekali ada suara anak-anak memecah siang yang hening dari dalam rumah-rumah di sepanjang blok ini. Sedang di badan jalan, tak terlihat satu orang pun, hanya warung kecil yang memiliki tempat duduk terlihat menjadi tempat berkumpul beberapa orang.
Suhu hari ini di Kuningan memang sedikit panas, tapi semilir angin yang datang sepoi-sepoi masih terasa sejuk. Tujuan saya adalah sebuah sanggar angklung sederhana.
Sanggar Angklung Lumbu, begitu yang tertera dalam sebuah spanduk di dalam sebuah sanggar sederhana yang bagian tepinya dipagari oleh rangkaian bambu yang rapi. Tak begitu besar, tetapi ada seperangkat angklung lengkap yang siap untuk dimainkan di sana.
Di samping sanggar terdapat sebuah bengkel angklung, tempat para pekerja membuat angklung. Di sana, pemilik sanggar yang juga pengrajin angklung, Pendi Partawijaya dapat ditemui. Begitupun siang ini, Kang Pendi, begitu ia biasa disapa sedang uji nada pada beberapa angklung sebelum menyambut kami. Di bengkel ini ia tidak sendiri, bersama beberapa karyawannya membuat angklung-angklung pesanan.
“Menjadi pengrajin angklung sudah saya lakoni sejak 2005, waktu itu maish sendiri, kalau sekarang bisa merekrut karyawan berdasarkan banyaknya pesanan,” ungkapnya saat menyambut kami.
Dengan semangat ia bergegas menuju sanggar memperlihatkan kebolehannya bermain angklung di sana. “Dulu bengkelnya di sini (lokasi sanggar), setelah dibuat sanggar bengkelnya digeser ke samping,” ujarnya pria 41 tahun ini mengenang.
Di sanggar ini Pendi biasa bermain angklung, tetapi ia tak ingin sendiri. Kalau sedang ada waktu, ia mengajak anak-anak tetangga untuk memperkenalkan alat musik tradisional ini dan belajar memainkannya. Hitung-hitung turut melestarikan alat musik tradisional. “Pikir saya, di sini belum banyak yang tahu dan mengerti untuk bermain angklung. Makanya, saya ingin banyak yang bisa belajar di sini agar musik tradisional ini lestari,” jelasnya.
Walaupun belum banyak yang berminat untuk belajar, Pendi tak menyerah. Bermain angklung selalu dilakukannya saat ia luang. Berharap lebih banyak lagi yang berminat dan datang ke sanggarnya.
Setelah Cigugur dijadikan sebagai Desa Wisata mulai banyak wisatawan yang datang ke Kuningan turut mampir ke sanggarnya. Kalau beruntung, Pendi tak hanya mendapat tamu wisatawan yang ingin melihat-lihat permainan angklung di sanggar ini, tetapi juga pembeli angklung.
Pengunjung yang datang biasanya memang tertarik karena melihat permainan angklung di sanggar, selain itu karena bengkel pembuatan angklung berada di samping sanggar mereka bisa melihat-lihat proses pembuatan alat musik tradisional Jawa Barat ini.
“Karena tempat pembuatannya terbuka jadi bebas saja siapa yang mau melihat-lihat,” ujar Pendi.
Seperti hari itu, para perajin angklung yang merupakan karyawan Pendi cukup banyak. Masing-masing dari mereka berbeda tugas. Ada yang bertugas memotong bambu, menghaluskan, memberi lubang suara, dan juga memasangkan tiap bagian. Sedang bagian pekerjaan Pendi ialah yang berkaitan dengan penyelesaiannya. “Mulai dari pewarnaan hingga uji nada,” ujarnya lagi.
Pendi mengaku, ia membuat angklung dengan pengalaman yang otodidak, tak ada pembelajaran khusus. “Berawal dari penasaran, bunyi angklung dari mana ya? Terus saya coba-coba dan berhasil. Untuk uji nada pun saya tidak menemukan kesulitan karena mengerti nada gitar,” jelasnya.
Untuk harga angklung yang dijual, Pendi tak mematok harga yang mahal. Kisarannya mulai dari Rp 40.000 hingga Rp 70.000. dalam satu set angklung melodi, terdiri dari 31 buah. “ Kalau membeli satu set kita akan berikan tiang. Tak terlalu mahal, tetapi walaupun begitu saya menjanjikan kualitas yang baik,” terangnya.
Sejak menjadi pengrajin angklung, Pendi berkomitmen untuk membuat angklung-angklung dari bahan yang berkualitas saja. Bambu hitam dan kuning yang dipakainya haruslah yang tak terserang hama. “Saya sangat memperhatikan material, kalau bambu yang sudah kena hama jangan dipakai. Dalam setahun proses pengeringan, bambu-bambu akan saya sortir kembali. Bambu yang terserang hama, dalam lima bulan pasti rusak,” tuturnya.
KOMPAS.com/SRI NOVIYANTIProses pembuatan angklung di Sanggar Angklung Lumbu
Kalau sudah mendapatkan bambu yang diyakininya mempunyai kualitas yang baik, saat itu lah Pendi mulai eksekusi bambu-bambu ini menjadi angklung yang bersuara indah. “Kalau materialnya baik, angklung ini bisa tahan lama sekali. Hingga 80 tahun juga pasti tidak akan rusak,” ungkapnya.
Saat ini angklung-angklung Pendi banyak dipesan oleh instansi pendidikan di Jakarta, Bandung, Cirebon hingga kawasan Kabupaten Kuningan sendiri. Bahkan seiring perkembangannya, kini ia tak hanya membuat angklung tetapi juga alat musik tradisional lainnya yang berbahan material sama. Diantaranya, Suling sunda, suling datonis, calung dan juga arumba. Pintar-pintar ia memanfaatkan sisa materialnya.
“Tiap batang bambu jangan sampai ada yang terbuang. Yang biasa dipakai sebagai material kan dari mulai tengah ke atas, bawahnya bisa kita jual kembali untuk yang membutuhkan pembangunan rumah ataupun untuk bahan bakar.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment