Meski warnanya sederhana, putih, tetapi susu memiliki berbagai keunggulan. Dilihat dari aspek gizi dan kesehatan, cairan lezat ini adalah minuman super yang mampu menjaga kesehatan tulang dan gigi, sumber protein, mineral dan vitamin, hingga bahan dasar untuk terapi kecantikan.
Penggunaan susu hewan perahan sebagai bahan pangan manusia sudah dikenal sejak lama. Pada tahun 8000 SM, bangsa di Timur Tengah mulai menjinakkan sapi dan domba untuk diambil susunya. Penduduk Turki bahkan sejak lama telah menguasai teknik pemrosesan susu menjadi keju untuk dikonsumsi. Di Indonesia, konsumsi susu sapi diperkenalkan pada masa penjajahan Belanda.
Ada berbagai jenis susu di pasaran, mulai dari susu segar, susu pasteurisasi, susu steril, susu formula, susu pertumbuhan, hingga susu UHT. Bentuk susu sendiri ada tiga jenis, yakni susu cair, susu bubuk, dan susu kental manis.
Dengan beragamnya jenis susu yang tersedia, tentu bukan perkara mudah memilih susu yang terbaik untuk keluarga. Untuk bayi sampai ia berusia dua tahun, yang terbaik sudah tentu adalah air susu ibu (ASI).
Untuk anak di atas dua tahun, menurut dr.Yoga Devaera, Sp.A, kecukupan gizi anak biasanya terpenuhi dari makanan sehari-hari. Meski begitu bukan berarti anak tidak disarankan minum susu, justru susu bisa menjadi sumber kalsium yang baik.
"Pemberian susu bersama dengan makanan lain akan mencukupi kebutuhan kalsiumnya. Tetapi susu tidak dimaksudkan untuk mencukupi seluruh kebutuhan nutrisinya. Anak tetap perlu diajari makan," kata dokter dari Divisi Nutrisi dan Penyakit Metabolik, Departemen Ilmu Kesehatan Anak, FKUI ini.
Karena kandungan gizinya yang lengkap, menurut Yoga susu seharusnya tetap dikonsumsi secara teratur oleh orang dari berbagai rentang usia.
Dibandingkan dengan jenis susu lainnya, susu segar memiliki cita rasa paling lezat karena asam lemak susunya belum rusak akibat proses pengawetan. Namun demi keamanan, susu yang akan diminum sebaiknya tetap harus dipanaskan atau disterilisasi.
Penggunaan susu hewan perahan sebagai bahan pangan manusia sudah dikenal sejak lama. Pada tahun 8000 SM, bangsa di Timur Tengah mulai menjinakkan sapi dan domba untuk diambil susunya. Penduduk Turki bahkan sejak lama telah menguasai teknik pemrosesan susu menjadi keju untuk dikonsumsi. Di Indonesia, konsumsi susu sapi diperkenalkan pada masa penjajahan Belanda.
Ada berbagai jenis susu di pasaran, mulai dari susu segar, susu pasteurisasi, susu steril, susu formula, susu pertumbuhan, hingga susu UHT. Bentuk susu sendiri ada tiga jenis, yakni susu cair, susu bubuk, dan susu kental manis.
Dengan beragamnya jenis susu yang tersedia, tentu bukan perkara mudah memilih susu yang terbaik untuk keluarga. Untuk bayi sampai ia berusia dua tahun, yang terbaik sudah tentu adalah air susu ibu (ASI).
Untuk anak di atas dua tahun, menurut dr.Yoga Devaera, Sp.A, kecukupan gizi anak biasanya terpenuhi dari makanan sehari-hari. Meski begitu bukan berarti anak tidak disarankan minum susu, justru susu bisa menjadi sumber kalsium yang baik.
"Pemberian susu bersama dengan makanan lain akan mencukupi kebutuhan kalsiumnya. Tetapi susu tidak dimaksudkan untuk mencukupi seluruh kebutuhan nutrisinya. Anak tetap perlu diajari makan," kata dokter dari Divisi Nutrisi dan Penyakit Metabolik, Departemen Ilmu Kesehatan Anak, FKUI ini.
Karena kandungan gizinya yang lengkap, menurut Yoga susu seharusnya tetap dikonsumsi secara teratur oleh orang dari berbagai rentang usia.
Dibandingkan dengan jenis susu lainnya, susu segar memiliki cita rasa paling lezat karena asam lemak susunya belum rusak akibat proses pengawetan. Namun demi keamanan, susu yang akan diminum sebaiknya tetap harus dipanaskan atau disterilisasi.
Kelebihan UHT
Ada berbagai cara melakukan sterilisasi, yang paling sederhana adalah pemanasan untuk membunuh kuman. Namun menurut Prof.Purwiyatno Hariyadi dari Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB Bogor, pemanasan dengan suhu rendah kurang efektif karena bisa merusak mutu dan gizi dalam susu.
"Sterilisasi pada kombinasi suhu tinggi dan waktu singkat akan memberikan tingkat inaktivasi mikroba yang tinggi tetapi zat-zat gizinya terlindungi," kata Purwiyatno di acara media edukasi mengenai teknologi UHT yang diadakan oleh Tetra Pak Indonesia di Jakarta beberapa waktu lalu.
Prinsip suhu tinggi dan waktu singkat itulah yang kemudian melahirkan teknik-teknik UHT (ultra high temperature) atau HTST (high temperature short time). Suhu pemanasan yang dipakai dalam teknik UHT mencapai 140 derajat celcius dalam waktu 4 detik.
Yang membedakan susu UHT dengan susu steril adalah tingginya suhu dan teknik pemanasan yang dipakai. Pada susu steril, pemanasan dilakukan secara konvensional, sedangkan pada susu UHT dengan teknik PHE (plate heat exchange) yaitu mengalirkan cairan susu ke pipa panas. Teknologi ini ditemukan oleh Tetra Pak.
Menurut Elvira P.Wongsosudiro, Communication Manager Tetra Pak Indonesia, pemrosesan susu segar menjadi susu UHT dilakukan secara otomatis dengan peralatan steril dan meminimalkan kontak tangan.
"Susu UHT dikemas dalam kemasan aseptik multilapis yang dibuat kedap udara sehingga bakteri yang ada di udara tidak dapat masuk ke dalamnya," kata Elvira dalam kesempatan yang sama.
Kemasan multilapis itu juga menjadikan susu terlindungi dari sinar ultraviolet dan kesegaran susu di dalamnya terjaga. Pengolahan susu segar menjadi susu UHT dengan teknologi tersebut juga menjadikan susu UHT tidak memerlukan pengawet namun masa simpannya lebih panjang.
Ditambahkan oleh Purwiyatno, susu UHT memiliki sederet kelebihan, mulai dari kerusakan protein yang lebih rendah. Sebagai informasi, kerusakan protein pada pengolahan susu cair menjadi susu bubuk mencapai 30 persen.
Pemanasan singkat dalam teknologi UHT juga menjamin cita rasa, warna, dan aroma susu UHT mendekati susu segar.
Kelebihan lainnya adalah kerusakan susu UHT bisa dilihat mata, yakni kemasan susu yang tampak menggembung. Namun Purwiyatno menyarankan agar kita selalu mengecek ada tidaknya perubahan warna dan bau pada susu.
"Sterilisasi pada kombinasi suhu tinggi dan waktu singkat akan memberikan tingkat inaktivasi mikroba yang tinggi tetapi zat-zat gizinya terlindungi," kata Purwiyatno di acara media edukasi mengenai teknologi UHT yang diadakan oleh Tetra Pak Indonesia di Jakarta beberapa waktu lalu.
Prinsip suhu tinggi dan waktu singkat itulah yang kemudian melahirkan teknik-teknik UHT (ultra high temperature) atau HTST (high temperature short time). Suhu pemanasan yang dipakai dalam teknik UHT mencapai 140 derajat celcius dalam waktu 4 detik.
Yang membedakan susu UHT dengan susu steril adalah tingginya suhu dan teknik pemanasan yang dipakai. Pada susu steril, pemanasan dilakukan secara konvensional, sedangkan pada susu UHT dengan teknik PHE (plate heat exchange) yaitu mengalirkan cairan susu ke pipa panas. Teknologi ini ditemukan oleh Tetra Pak.
Menurut Elvira P.Wongsosudiro, Communication Manager Tetra Pak Indonesia, pemrosesan susu segar menjadi susu UHT dilakukan secara otomatis dengan peralatan steril dan meminimalkan kontak tangan.
"Susu UHT dikemas dalam kemasan aseptik multilapis yang dibuat kedap udara sehingga bakteri yang ada di udara tidak dapat masuk ke dalamnya," kata Elvira dalam kesempatan yang sama.
Kemasan multilapis itu juga menjadikan susu terlindungi dari sinar ultraviolet dan kesegaran susu di dalamnya terjaga. Pengolahan susu segar menjadi susu UHT dengan teknologi tersebut juga menjadikan susu UHT tidak memerlukan pengawet namun masa simpannya lebih panjang.
Ditambahkan oleh Purwiyatno, susu UHT memiliki sederet kelebihan, mulai dari kerusakan protein yang lebih rendah. Sebagai informasi, kerusakan protein pada pengolahan susu cair menjadi susu bubuk mencapai 30 persen.
Pemanasan singkat dalam teknologi UHT juga menjamin cita rasa, warna, dan aroma susu UHT mendekati susu segar.
Kelebihan lainnya adalah kerusakan susu UHT bisa dilihat mata, yakni kemasan susu yang tampak menggembung. Namun Purwiyatno menyarankan agar kita selalu mengecek ada tidaknya perubahan warna dan bau pada susu.
No comments:
Post a Comment