Pemerintah harus ubah Konsep Pariwisata
JAKARTA (Media). Pemerintah harus mengembangkan konsep ekowisata untuk menyelamatkan sumber daya alam.
Untuk itu diperlukan sebuah pola baru dalam mengembangkan aset wisata budaya dan alam, yang benar-benar menciptakan kemakmuran masyarakat. Sebab selama ini pola konvensional yang dipakai para pelaku usaha di dunia wista hany berorientasi pada kepentingan investasi, konsesi pasar, dan membuka lapangan kerja>
Penasihat Lingkungan Direktorat Lingkungan Hidup Bappenas Krystyna Krassowska menyampaikan hal itu dalam sebuah seminar di Jakarta, kemarin.
"Pariwisata bukan alat mengurangi kemiskinan. Jangan eliru karena sebenarnya yng berkontribusi untuk devisa adalah aset yang mendukung seperti hotel, jasa transportasi, dan layanan turis," kata dia.
Upaya untuk pengentasan kemiskinan, kata dia, selama ini hanya seekdar kemampuan mempekerjakan masyarakat lokal, tanpa ada kemampuan mengorganisasi pariwisata lokal.
Selan itu, jika akses informasi masyarakat setempat tertutup dan kontrol kepemilikan sumber daya lingkungan mereka dihilangkan, keberadaaan pariwisata pariwisata justru akan mematikan masyarakat setempat.
"Ini wajah buruk turisme. Masyarakat lokal bersama pemerintah harus berani mengatakan tidak kepada turis yang hanya merusak alam dan budaya setempat. Masuknya pariwisata membuat masyarakat makin rentan secara ekonomi," tegasnya.
Demi memperoleh devisa negara sebanyak-banyaknya, kerapkali pengusaha dan pemerintah setempat mengabaikan faktor ekologi dalam pengembangan pariwisata.
Daerah hutan disulap menjadi penginapan, eksploitasi sumber daya alam untuk menjual daerahnya demi devisa, harus dihindari.
Dalam kesempatan lain Sekretaris Jenderal Dapartemen kebudayaan dan Pariwisata Sapta Nirwandar mengatakan pemerintah akan mengembangkan program ekowisata yang bisa meningkatkan devisa negara dan kesejahteraan masyarakat sekitar.
Ekowisata menjadi salah satu pilihan karena wilayah Indonesia sangat kaya dengan alam yang indah. "Program ekowisata unggulan yang dijalankan tahun ini dilaksanakan di lima wilayah, yakni Sumatera Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, NTB, dan NTT," kata Pak Sapta (Ccr/ Win/ H-4)
Untuk itu diperlukan sebuah pola baru dalam mengembangkan aset wisata budaya dan alam, yang benar-benar menciptakan kemakmuran masyarakat. Sebab selama ini pola konvensional yang dipakai para pelaku usaha di dunia wista hany berorientasi pada kepentingan investasi, konsesi pasar, dan membuka lapangan kerja>
Penasihat Lingkungan Direktorat Lingkungan Hidup Bappenas Krystyna Krassowska menyampaikan hal itu dalam sebuah seminar di Jakarta, kemarin.
"Pariwisata bukan alat mengurangi kemiskinan. Jangan eliru karena sebenarnya yng berkontribusi untuk devisa adalah aset yang mendukung seperti hotel, jasa transportasi, dan layanan turis," kata dia.
Upaya untuk pengentasan kemiskinan, kata dia, selama ini hanya seekdar kemampuan mempekerjakan masyarakat lokal, tanpa ada kemampuan mengorganisasi pariwisata lokal.
Selan itu, jika akses informasi masyarakat setempat tertutup dan kontrol kepemilikan sumber daya lingkungan mereka dihilangkan, keberadaaan pariwisata pariwisata justru akan mematikan masyarakat setempat.
"Ini wajah buruk turisme. Masyarakat lokal bersama pemerintah harus berani mengatakan tidak kepada turis yang hanya merusak alam dan budaya setempat. Masuknya pariwisata membuat masyarakat makin rentan secara ekonomi," tegasnya.
Demi memperoleh devisa negara sebanyak-banyaknya, kerapkali pengusaha dan pemerintah setempat mengabaikan faktor ekologi dalam pengembangan pariwisata.
Daerah hutan disulap menjadi penginapan, eksploitasi sumber daya alam untuk menjual daerahnya demi devisa, harus dihindari.
Dalam kesempatan lain Sekretaris Jenderal Dapartemen kebudayaan dan Pariwisata Sapta Nirwandar mengatakan pemerintah akan mengembangkan program ekowisata yang bisa meningkatkan devisa negara dan kesejahteraan masyarakat sekitar.
Ekowisata menjadi salah satu pilihan karena wilayah Indonesia sangat kaya dengan alam yang indah. "Program ekowisata unggulan yang dijalankan tahun ini dilaksanakan di lima wilayah, yakni Sumatera Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, NTB, dan NTT," kata Pak Sapta (Ccr/ Win/ H-4)
No comments:
Post a Comment